Posted by Makna Hidup Damai
Arti kata lomba dalam konteks kekinian dlm hidup manusia selalu identik untuk menjadi yang terbaik dalam perebutan nilai, menjadi terkaya dan ter...lainnya yang berkaitan dengan kemasyuran. Pencapaian atas lomba itu dalam hidup ini seringkali menimbulkan keterikatan. Dimana keterikatan membuat manusia selalu takut menghadapi perubahan dan selalu membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya tidak kekal.
Keterikatan ini bisa menimbulkan keinginan untuk mempertahankan dan memiliki sesuatu, keadaan maupun orang tertentu. Hingga suatu ketika nanti keinginan itu tidak selaras dengan alam karena alam tidak selalu memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam itu selalu ikut dan membiarkan terjadinya perubahan, bahkan alam malah memfasilitasinya dan mendukungnya.
Ketika kita terikat dengan hitamnya rambut lebat, maka botak dan uban sudah pasti sangat menyedihkan bagi kita. Kita terikat dengan harta benda yang kita kumpulkan selama hidup, maka menghadapi fase kematian akan terasa menjadi sulit. Sementara itu, alampun tidak pernah merasa sedih karena musim itu selalu berganti dan dia tidak pernah menolak perubahan yang terjadi setiap saat.
Kenapa kita bisa terikat pada sesuatu? Lihatlah betapa kita melihat sesuatu itu di luar diri kita, dan timbul keinginan untuk memilikinya. Dan tidak pernah terpikirkan oleh kita akan apa yang ada dalam badan kita, paru-paru, ginjal, jantung.dll itu tidak pernah membuat terikat, karena kita tahu semua itu ada dalam diri kita. Kita bahkan tidak pernah memikirkan mereka. Tidak pernah peduli tentang mereka, dan pada saat jatuh sakit, barulah kita merasakan sakit dan mengaduh dan merasakan kehilangan kesehatan kita. Dalam hal ini dapat dikatakan, kita tidak pernah punya keterikatan dan merasa terikat dengan sesuatu yang kita yakini sebagai milik kita. Sebab itu seorang suami bisa tidak terikat dengan istrinya, tetapi terikat dengan selingkuhan atau selirnya.
Kita sebagai manusia tidak mencela harta-benda. Yang kita cela adalah keterikatan kita. Kita dipersilakan mencari uang; menjadi kaya dan menikmati kekayaan kita, asal tidak terikat, karena keterikatan akan menyebabkan kekecewaan. Keterikatan merampas kebebasan kita dan juga bisa memperbudak kita. Tidak terikat berarti tidak habis-habisan, tidak ngoyo dan mati-matian mengejar sesuatu kepuasan indria.
Keterikatan pada pada kedudukan, harta-kekayaan dan pada keluarga kalau bisa kita harus kikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi orang yang asosial; dan tidak berarti pula kita meninggalkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting yang harus kita tanam adalah meninggalkan rasa kepemilikan dan meninggalkan keterikatan. Dan untuk melepaskan keterikatan-keterikatan itu, cara yang paling gampang yang dapat kita lakukan adalah mengingat saat saat kematian. Menyadari bahwasannya hidup kita ini bersifat fana, sementara, sesaat dan tidak kekal. Manusia perlu belajar untuk menarik diri sebelum keterikatan itu terjadi.
Salah satu cara untuk menarik diri adalah dengan cara Menutup Panca indera, dari pengaruh dan pemicu di luar kita yang dapat menghilangkan kesadaran diri. Ketertarikan akan sesuatu adalah awal keterikatan. Ketika salah satu dari panca indera kita tertarik akan sesuatu, maka terciptalah rantai keterikatan yang bisa dan pasti menjerat kita suatu saat nanti. Maka dari itu , saat ketertarikan itu terjadi kita harus bisa langsung menarik diri, Menutup Panca indera kita.
Memang tidak mudah melepaskan diri dari keterikatan terutama bagi mereka yang belum mendapatkan ketenangan jiwa. Tetapi dia yang telah mencapai ketenangan dan keseimbangan lewat meditasi menghadap Tuhan akan dapat dengan mudah melepaskan dirinya dan mencapai Kesadaran Tertinggi. Biasanya orang yangtelah mencapai keseimbangan dan ketenangan jiwa menyadari adanya koalisi antara “aku” yang bersemayam dalam dirinya dan “AKU” yang bersemayam dalam diri setiap makhluk. Demikian juga halnya dengan orang yang sudah berkarya, menghasilkan sesuatu, sebaiknya dia tetap tidak terikat pada apa pun. Dan semestinya dia yang bijak menyadari bahwa yang terlibat dengan benda duniawi hanyalah panca inderanya. Dan Sebenarnya “Ia” tidak terlibat.
Hal itu bisa kita ibaratkan dengan pohon teratai yang daunnya meskipun ada di ats air tapi dia tetap tidak terbasahkan oleh air itu, begitupula keterikatan kita terhadap hasil dari perbuatan yang kita lakukan, kita lakukan itu sebagai persembahan saja tanpa pamrih sehingga bisa dikatakan hidup tanpa noda dan tidak tercemari oleh dunia ini. Manusia yang bijak biasanya bisa melepaskan segala macam keterikatan dan bekerja dengan raga, pikiran, intelek serta Panca inderanya, hanya untuk membersihkan dirinya. Dia tidak mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, karena dengan cara itu dia memperoleh ketenangan jiwa. Sebaliknya manusia yang tidak bijak selalu mengharapkan hasil akhir dari apa yang dia lakukan, sehingga tetap saja terikat.
“Sepi ing pamrih rame ing gawe”, bekerja keras tanpa pamrih. Pamrih adalah tujuan, atau bisa dibilang sebagai keterikatan dalam melakukan suatu tindakan. Para leluhur memberi nasehat agar kita bekerja keras tanpa keterikatan terhadap hasil atau keterikatan pada tujuan atau mempunyai pamrih tertentu.
Selama kita masih menggunakan pikiran,kita tidak bisa bekerja tanpa pamrih. Karena pikiran itu adalah sumber dari terlaksananya suatu nafsu pemenuhan indria. Demeikian juga selama masih belum kenal kasih, kita tidak bisa melepaskan ego. Dan selama pikiran kita masih bekerja , selama itu pula ego masih belum terlepaskan, kita tidak bisa melihat ke dalam diri.
Apa yang dimaksud dengan ketakterikatan? Dan, apa yang dimaksud keterikatan itu? Keterikatan adalah suatu ketergantungan dan kepercayaan kita pada pengakuan, penghargaan pujian atau bahkan pada imbalan. Selama kita masih mengejar semuanya itu, kita masih terikat. Dan, selama kita masih terikat, kita masih memelihara apa yang namanya rasa takut. Lapisan Inteligensia kita mendapatkan energi dari dua sumber utama yaitu sumber dalam diri: dari rasa percaya diri yang tidak tergantung pada pujian dan makian dan sumber di luar diri: dari pujian dan pengakuan dari orang lain
Kita sebagai manusia awam sangat senang akan pujian dan ketika pujian berubah menjadi hujatan dan celaan dan pengakuan menjadi penolakan, lapisan inteligensia kita seakan akan kehausan energi. Pada saat itu pikiran kita seakan liar dan menjadi ganas. Kita akan melakukan apapun untuk memperoleh yang namanya pujian dan pengakuan. Selama kita masih mengejar semua itu, kita masih namanya terikat.
Kurangi sedikit demi sedikit dan kurangilah kebergantungan akan sumber energi di luar diri. Leboih banyak gunakan energi yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Ketidaktergantungan terhadap sesuatu di luar diri inilah yang disebut ke-tidak-terikatan.
Para orang suci dan bijaksana memberi nasehat agar kita tidak terikat pada sesuatu. Janganlah terlalu sering terikat pada Sesuatu. Lebih disarankan untuk bersahabat, tapi tanpa keterikatan. Teruslah berkarya dan janganlah terikat pada hasilnya. Layanilah keluarga dan cintailah mereka dengan tulus, tapi tanpa keterikatan. Keterikatan bukanlah suatu cinta. Keterikatan biasanya menciptakan keinginan untuk memiliki dan pada saat kita punya keinginan untuk memiliki sesuatu atau seseorang, kita akan melakukan apa saja, dengan membenarkan segala pemaksaan atau kekerasan.
Seperti yang dituliskan dalam ilmu manajemen obyektif seluruh upaya dilakukan agar hasil tercapai. Bagi mereka yang kurang ber-etika, biasanya mereka menggunakan segala macam cara untukdapat memperoleh apa yang ia sangat diinginkan dan harapkan. Dalam spiritual, mereka biasanya selalu berupaya sekuat tenaga untuk mencapai tujuan yang tertinggi yaitu surga, nirvana atau apa pun tujuannya. Manajemen yang terikat kepada suatu tujuan tertentu, disebut juga manajemen berdasarkan pamrih.
Kemudian dalam penjelasan ilmu manajemen ada yang dikenal dengan Management by Process, dan apabila seluruh proses dilakukan dengan benar maka hasil akhirnya sudah bisa dinamakan dengan suatu kepastian. Seluruh upaya biasanya difokuskan pada tindakan saat ini, salah satuya adalah dengan membuat cheklist dari semua proses yang akan kita laksanakan, sehingga apabila semua proses itu dijalani dengan benar maka hasil akhirnya sudah bisa merupakan suatu kepastian. Hasil ini bisa disebut juga Total Quality Management, holistik. Di dalam konteks spiritual, mereka berfokus pada suatu perjalanan dan bukan pada berfokus tujuan, yaitu tidak mempunyai pamrih.
Mungkin kita bisa diingatkan kembali oleh pitutur yang luhur dari leluhur kita yang merupakan suatu nasehat yang mulia agar kita melakukan “Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe”. Ini bisa kita pakai sebagai landasan agar semua energi kita terfokus pada pekerjaan dan tidak terfokus pada hasil sehingga energi untuk bekerja kuranglah maksimal. Pendekatan para leluhur kita ini lebih ke arah pendekatan “Management by Process”. Dalam hal spiritual, dapat dimaknai agar kita tidak selalu terikat pada tujuan keduniawian atau tujuan atau apapun yang dinamakan pamrih. Dasarnya adalah bekerja dengan tulus iklas dan penuh bakti sebagai persembahan pada kehidupan semata.
Bagi yang mempercayai adanya hukum sebab-akibat, maka “Apa yang dilakukan akan berbalik kepada pelakunya”, “Apa yang kamu tabur, itu pula yang akan kamu tuai.” Apa yang kita kirim kepada alam semesta pada akhirnya akan kembali kepada kita. Tindakan yang buruk akan kembali kepada kita dan kita pula yang akan menerima akibatnya. Sebaliknya tindakan baik akan memperoleh hasil baik sbg akibatnya.
Have blessed day dearest Friends..
#lifelesson:worldlyties..
ADS HERE !!!